NSI.com, JAKARTA – Publik kembali menyoroti wacana redenominasi rupiah, yang sejak 2018 telah disuarakan, namun hingga kini tenggelam akibat pandemi. Bahkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Redenominasi Rupiah belum ada kelanjutannya. Padahal, RUU Redenominasi Rupiah telah dimasukkan dalam jangka menengah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/PMK.01/2020, tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024.
Setidaknya ada 2 alasan mengapa penyederhanaan nilai mata uang harus dilakukan. Pertama, untuk menciptakan efisiensi berupa percepatan waktu transaksi, berkurangnya risiko human error, dan efisiensi pencantuman harga barang/jasa, karena sederhananya jumlah digit rupiah. Kedua, redenominasi rupiah, bisa menyederhanakan sistem transaksi, akuntansi dan pelaporan APBN. Ini karena jumlah digit rupiah yang lebih sedikit.
Seperti diketahui, redenominasi adalah penyederhanaan dan penyetaraan nilai Rupiah. Dalam kajian Bank Indonesia dijelaskan, redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan daya beli masyarakat, melalui pemotongan nilai uang. Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Marlison Hakim baru-baru ini mengatakan, redenominasi merupakan keputusan pemerintah, bukan bank sentral sehingga dalam hal ini BI hanya mengikuti. “Kami BI siap mengikuti keputusan pemerintah dalam hal ini,” kata Marlison saat ditemui di Peluncuran SERAMBI 2023, dikutip Jumat (24/3/2023).
BI, sambungnya, hingga saat ini belum mendengar mengenai pembicaraan lebih lanjut. Namun demikian, BI akan selalu siap jika sudah diminta pemerintah. BI memandang bahwa keberhasilan redenominasi sangat ditentukan oleh berbagai hal. Biasanya dilakukan di saat ekspektasi inflasi berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil, stabilitas perekonomian terjaga dan ada jaminan terhadap stabilitas harga serta adanya kebutuhan dan kesiapan masyarakat.
Sumber : CNBC Indonesia | Editor : Redaksi NSI