BOGOR – Geostrategi kedaulatan pangan nasional adalah langkah strategis untuk mencapai kedaulatan pangan, dengan memperkuat produksi pangan di setiap daerah sesuai dengan kearifan lokal. Penguatan produksi pangan itu, harus didukung oleh ketersediaan lahan yang memadai. Saat ini, masih banyak lahan yang terdapat di kawasan hutan dan kawasan lain belum dapat dioptimalkan menjadi lahan pertanian.
Hal itu disampaikan Ketua Komisariat Daerah (Komda) Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) Kalimantan Timur (Kaltim) Dr. Ir Zulkarnain, M.S, saat memberikan keynote speech dalam seminar nasional memperingati hari ulang tahun HITI ke 50 tahun. Dengan tema Tanah Untuk Pangan: Geostrategi Penguatan Kedaulatan Pangan Indonesia.
Zulkarnain mewakili Gubernur Kaltim Dr. Ir. H Isran Noor, M.Si yang seyogyanya hadir sebagai keynote speaker. Namun gubernur berhalangan hadir, karena ada pertemuan dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) di Jakarta.
“Salam hormat beliau kepada HITI karena tidak sempat menghadiri seminar pada hari ini,” ucap Zulkarnain kepada para peserta seminar yang hadir secara online mau pun onsite di Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor, Selasa (19/7).
Ia menjelaskan, Indonesia memiliki luas lahan yang sesuai untuk pangan hampir 200 juta hektare (ha). Sebagian diantaranya merupakan lahan sawah sekitar 7 juta hektare. Namun sayangnya, Indonesia masih terfokus pada produksi pangan padi, jagung dan kedelai (pajale). Padahal jika memperhatikan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, dijelaskan bahwa pangan adalah karbohidrat dan protein.
“Oleh karena itu, kita harus meninjau kembali untuk pengembangan komoditas yang menghasilkan karbohidrat dan protein. Tidak lagi hanya terpaku pada pajele. Ini yang belum terdesain dengan baik,” ujarnya dihadapan para pakar ilmu tanah yang hadir.
Zulkarnain mendorong setiap provinsi, dapat memiliki sumber pangan yang didukung dengan kesesuaian karakteristik lahan. Misalnya lahan di Pulau Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi yang tidak cocok ditanami padi, dapat diganti dengan tanaman umbi-umbian.
Ditambahkannya, jika 200 juta hektare (ha) lahan di Indonesia bisa ditanami umbi-umbian. Maka, Indonesia bisa memproduksi sekitar 400 juta sumber karbohidrat. Tidak perlu lagi negara ini, mengimpor tepung dari negara lain.
“Dengan potensi ini kalau kita bisa optimalkan, kita bisa berdaulat pangan. Tidak perlu lagi mengimpor tepung sampai 11 ton dari luar negeri,” tegasnya.
Implementasi geostrategi pangan, kata dia, juga memerlukan desentralisasi kebijakan pangan melalui penyediaan lahan untuk peningkatan produksi sumber-sumber pangan lokal. Serta regulasi urusan pangan harus menjadi urusan wajib dasar yang diprioritaskan baik oleh pemerintah pusat mau pun dan daerah.
Karena berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pangan dan pertanian merupakan urusan pilihan. Bukan urusan wajib seperti pendidikan dan kesehatan. Dampaknya, alokasi anggaran untuk sektor ini pun sangat kecil. Hanya di bawah 10 persen. “Kalau pilihan, maka pangan bukan jadi prioritas. Padahal kalau kita tarik ke atas menurut UU 1945 Pasal 33 ayat 2, semua yang menyangkut harkat hidup orang banyak dikuasai negara. Maka, pangan dan pertanian merupakan komoditi strategis yang seharusnya dikuasai negara. Dimana ahli pertanian kita? Kita dipermainkan kebijakan,” keluhnya.
Zulkarnain berharap, HITI dapat mengambil peran dalam persoalan pangan ini. Para pakar ilmu tanah tidak hanya terjebak dalam kegiatan analisis, menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah. Namun, harus masuk dalam ranah implementasi ilmu yang bisa memengaruhi kebijakan politik.“Saat ini saya mengimbau agar kita bisa menyusun satu geostrategi kedaulatan pangan. Dimana perencana penataan lahan disetiap kepulauan atau provinsi merupakan kata kunci untuk menyediakan lahan-lahan pertanian pangan dan energi baru terbarukan,” tutupnya.
Sumber : Diskominfo Kaltim | Editor : Suarno