NSI.com – KOMISI II DPR RI menyoroti sekaligus memberikan tanggapan, terhadap beberapa permasalahan yang terjadi pada pembebasan lahan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur (Kaltim), yang hingga kini belum terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya, dewan meminta agar Negara tidak sewenang-wenang terhadap rakyat, dan tetap mengidentifikasi kepemilikan tanah tersebut. Sehingga, proses peralihan kepemilikan lahan dari masyarakat kepada pemerintah dapat dilaksanakan dengan lancar, tanpa menimbulkan konflik agraria berkepanjangan.
Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin dalam pertemuan dengan pemerintah daerah Kalimantan Timur di Ruang Rapat Walikota Balikpapan, Jumat (17/02/2023), sebagaimana dilansir dari laman dpr.go.id, DPR meminta agar masalah pertanahan di IKN diagendakan secara khusus. Karena menurutnya, sejak Undang-Undang (UU) IKN ditetapkan, hingga saat ini tidak dapat diketahui sejauh mana perkembangannya. “Undang-undangnya sudah diputuskan, kenapa kita kehilangan jendela dan pintu untuk melihat sejauh mana progress reportnya. Ditambah lagi Badan Otorita IKN ini mitranya tidak ada di DPR. Akhirnya kita memantau itu semua, hanya lewat berita-berita dan media sosial, tapi itu pun sifatnya informatif, bahkan sebagian simpang siur,” ungkap Yanuar.
Dalam kesempatan yang sama Anggota Komisi II DPR RI Mohamad Muraz mengatakan, Komisi II merasa berkepentingan karena urusan IKN itu yang sampai hari ini belum terlihat progresnya. Ia pun menyontohkan, bahwa Komisi II bermitra dengan BPN, dinilainya pasti mengetahui perkembangan soal proses IKN, karena terkait dengan tugas pokok dan fungsinya, misal dengan pengadaan lahan dan pemanfaatan tanah. Tapi ketika diperiksa, ternyata mata anggaran atau nomenklatur soal tersebut tidak ada.
Lebih lanjut ia menyampaikan yang menjadi masalah pokok dalam sudut pandang tersebut adalah eksistensi tanah masyarakat, tanah adat, tanah ulayat, bahkan ada tanah kesultanan, juga ada tanah swasta dan Hak Guna Usaha (HGU) yang penanganan dan pengelolaanya harus diketahui secara pasti. “Bukan berarti negara sewenang-wenang, tentu tidak, tetapi harus mengidentifikasi tanah-tanah itu mana tanah negara, mana juga tanah adat dan mana tahan masyarakat, sehingga masing-masing pembebasannya sesuai sistem dan mekanisme hukum yang berjalan,” ujarnya.
“Kita kehilangan informasi yang utuh, padahal ini isu publik yang beberapa pihak bertanya ke kita (Komisi II). Kita pun tidak bisa jawab detail. Padahal kita sendiri bertanya-tanya duduk perkaranya seperti apa. Pihak kesultanan bingung, belum lagi tanah adat dayak, ulayat dan masyarakat, jangan sampai hak mereka terampas,” jelas Mohamad Muraz berharap.
Editor : Redaksi NSI