NSI.com, JAKARTA – Pemerintah Indonesia yang melakukan pelarangan espor bijih nekel ke luar negeri, digugat di oleh Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Dari gugatan itu, Indonesia dinyatakan kalah atas kebijakannya sendiri, yang melakukan pelarangan kegiatan ekspor bijih nikel ke luar negeri, yang diputusakan pada Oktober 2022 lalu. Atas putusan itu, Indonesia menyatakan banding.
Belakangan baru diketahui, kekalahan RI atas gugatan Uni Eropa ini dipicu karena industri hilir nikel di Indonesia dianggap belum matang alais belum siap. Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional Bara Krishna Hasibuan menjelaskan, belum matangnya industri hilir di Indonesia, menjadi dasar WTO memenangkan gugatan Uni Eropa. Pemerintah dinilai tidak bisa menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk mendukung industrialisasi di Indonesia.
“Fasilitas pengolahan nikel itu dikatakan belum kuat. Jadi kalau industrinya sudah kuat itu bisa katanya dilakukan larangan ekspor terhadap komoditas. Tetapi kita kan juga pada saat sekarang sudah ada industri yang cukup banyak untuk mengolah nikel tersebut, itu sudah kami jelaskan dan itu tidak diterima. Tapi gak apa-apa, kan kita sudah memutuskan untuk banding,” jelasnya pada Kamis (2/3/2023).
Meski demikian, pemerintah telah mempersiapkan argumentasi dalam upaya banding di WTO melawan Uni Eropa. Salah satunya dengan memastikan bahwa industri hilir dari produk olahan nikel di dalam negeri sudah kokoh. “Sekarang ini kita betul-betul ngebut untuk memperkuat industri, terutama yang baterai EV. Nanti diharapkan kalau panel banding terbentuk yang diperkirakan 2024, walaupun itu tidak langsung mendengarkan kasus kita karena kasus kita ini ngantri di urutan 25. Jadi kalau kasus kita didengar tahun 2025 akhir misalnya, itu industri kita kan sudah kuat, jadi kita cukup yakin kalau argumentasi kita bisa diterima,” ungkapnya.
Lebih lanjut Bara mengaku optimistis, peluang Indonesia untuk memenangkan upaya banding di WTO cukup besar, seiring dengan masifnya pembangunan proyek smelter di dalam negeri. Apalagi saat ini pemerintah tengah menggenjot ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai. “Nikel kan diambil dari bumi terus dikirim ke smelter untuk diolah. Bijih nikel itu kan bisa memproduksi besi dan bisa untuk baterai EV dua industri ini kan betul-betul kita dorong untuk bergerak lebih cepat,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sempat mengatakan bahwa. pemerintah berpandangan keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Indonesia tidak perlu mengubah peraturan atau bahkan mencabut kebijakan. yang dianggap tidak sesuai sebelum keputusan sengketa diadopsi Dispute Settlement Body (DSB). “Keputusan panel belum memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga Pemerintah akan melakukan banding,” ujar Arifin dalam Raker bersama Komisi VII, Senin (21/11/2022).
Selain itu, kata Arifin, pemerintah juga akan mempertahankan kebijakan hilirisasi mineral (nikel), dengan mempercepat proses pembangunan smelter. Adapun final panel report yang sudah keluar pada tanggal 17 Oktober 2022 berisi beberapa poin penegasan. “Memutuskan bahwa kebijakan Ekspor dan Kewajiban Pengolahan dan Pemurnian Mineral Nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Berikutnya menolak pembelaan diajukan Pemerintah Indonesia terkait dengan keterbatasan jumlah Cadangan Nikel Nasional dan untuk melaksanakan Good Mining Practice (Aspek Lingkungan) sebagai dasar pembelaan. Kemudian, final report akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukan ke dalam agenda DSB pada tanggal 20 Desember 2022.
Setidaknya ada beberapa peraturan perundang-undangan dinilai melanggar ketentuan WTO. Pertama, UU Nomor 4 Tahun 2009: Pertambangan Mineral dan Batubara. Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019: Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019: Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020: Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Sumber : CNBC Indonesia | Editor : Redaksi NSI