NSI.com, JAKARTA – Jumlah anggota dewan keterwakilan perempuan, terancam berkurang akibat peraturan baru KPU, terkait pembulatan desimal kuota calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024. Ketentuan baru ini dikritik banyak pihak, mulai dari pimpinan MPR RI, akademisi hingga organisasi pemerhati pemilu. Ketentuan anyar termaktub Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, pada Pasal 8 Ayat 1 dinyatakan bahwa partai politik wajib mengajukan daftar bakal caleg dengan komposisi minimal 30 persen perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil).
Namun pada Pasal 8 Ayat 2 menyatakan, bahwa hasil penghitung kuota 30 persen dibulatkan ke bawah, apabila berupa pecahan dengan dua angka di belakang koma tak mencapai 50. Umpamanya, di sebuah dapil terdapat 4 kursi anggota dewan dan partai politik mengajukan 4 bakal caleg. Maka dengan ketentuan kuota 30 persen, berarti secara matematis partai politik harus mengajukan 1, 20 orang caleg perempuan. Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, maka partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan satu caleg perempuan.
Berdasarkan perhitungan model seperti itu, menurut Dosen hukum pemilu Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, bahwa keterwakilan perempuan dalam daftar caleg menjadi hanya 25 persen. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Pemilu, menyatakan daftar caleg memuat paling sedikit 30 perempuan keterwakilan perempuan. “Bagaimana KPU menyikapi norma yang kontradiktif tersebut?” kata Titi lewat keterangan tertulisnya, dikutip Ahad (7/5/2023).
Ketentuan penghitungan kuota 30 persen perempuan ini, sambung Titi, berbeda dengan Pemilu 2019. Melalui PKPU 20/2018, KPU ketika itu memakai pendekatan pembulatan desimal ke atas, untuk berapa pun angka hasil pembagiannya. “Sehingga tidak ada dapil yang minus 30 persen perempuan, bahkan mayoritas surplus,” ujar Titi.
Terpisah, Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat berpendapat, ketentuan pembulatan ke bawah kuota bakal caleg perempuan itu menghalangi pencapaian terget afirmasi perempuan di parlemen. Sebab, jumlah caleg perempuan di suatu dapil, bisa di bawah 30 persen. Berkurangnya jumlah caleg perempuan, tentu pada akhirnya dapat memperkecil jumlah anggota dewan perempuan. “Aturan KPU itu tidak sejalan dengan semangat para perempuan, yang hingga saat ini berupaya untuk meningkatkan keterwakilannya di parlemen,” kata Lestari lewat keterangan tertulisnya.
Sebagai perbandingan, kini terdapat 120 anggota DPR perempuan atau 20,87 persen dari total 575 wakil rakyat. Keterwakilan perempuan sebanyak 20,87 persen itu, merupakan hasil Pemilu 2019 yang penghitungan kuota bakal caleg perempuannya menggunakan pendekatan pembulatan ke atas.
Lestari lebih lanjut menegaskan, bahwa penghitungan kuota perempuan dengan pendekatan pembulatan ke bawah pada Pemilu 2024, bertentangan dengan UU Pemilu. “Hal ini menunjukkan rendahnya komitmen penyelenggara pemilu dan pemangku kebijakan, untuk mewujudkan keterwakilan perempuan di parlemen,” tegasnya.
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Keterwakilan Perempuan, mendesak KPU merevisi ketentuan penghitungan pembulatan ke bawah itu. Koalisi ini terdiri 9 organisasi, 2 di antaranya adalah Pusat Kajian Politik (Puskapol) UI dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Menanggapi hal itu, Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, ketentuan pembulatan ke bawah itu merupakan standar dan kaidah matematika. “Bukan kami yang membuat norma dan standar baru dalam matematika,” kata Idham berkilah.
Lebih lanjut, Idham menyebutkan, ketentuan tersebut dimuat dalam PKPU 10/2023, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan telah melalui uji publik maupun focus group discussion (FGD). Ketika ditanya soal adanya desakan merevisi PKPU tersebut, Idham secara tersirat enggan melakukannya, karena tahapan pendaftaran sudah berjalan. “Saat ini sedang berlangsung pengajuan daftar caleg hingga 14 Mei 2023,” kata Idham menjawab pertanyaan tersebut.
Terkait potensi tak sampai 30 persen caleg perempuan di suatu dapil, Idham menyebut pihaknya sudah berkomunikasi dengan partai politik. Dia menyebut, partai politik punya komitmen untuk memperbanyak caleg perempuan. “Pada dasarnya partai politik, karena affirmative action bukanlah hal baru, mereka juga punya semangat untuk mendorong caleg-caleg perempuan lebih banyak lagi,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI Guspardi Gaus mengatakan, munculnya ketentuan penghitungan pembulatan ke bawah itu, dilatarbelakangi minimnya minat perempuan untuk menjadi kontestan dalam pemilu. Dia mengeklaim, hampir semua partai politik kesulitan memenuhi kuota minimal 30 persen saat mengajukan daftar bakal caleg. “Banyak orang-orang yang kita rayu dari pihak perempuan itu tidak mau jadi caleg. Jadi enggak gampang,” kata Guspardi.
Selain itu, pembulatan ke bawah didasarkan pada budaya timur. “Bagaimana pun sebagai orang timur, fitrah dia sebagai ibu dari anak, istri dari seorang suami, enggak bisa itu dihilangkan begitu saja,” katanya, seraya menyampaikan catatan, bahwa Komisi II DPR merupakan mitra kerja KPU RI. Oleh karenanya, ketika membahas beleid pembulatan ke bawah itu bersama KPU, Komisi II tidak sama sekali ingin mendiskriminasi perempuan.
Sumber : Republika.co.id | Editor : Redaksi NSI